ISLAM DAN MADURA (Oleh Dr. Kholili Hasib.M.Ud.)

Pada Senin, 13 Juni 2022, saya mengunjungi beberapa tempat bersejarah di kota Sumenep Madura. Makam beberapa tokoh dan raja. Saya juga bertemu dengan orang Madura yang masih memiliki trah dengan kesultanan Madura. Mendapatkan informasi tentang tokoh-tokoh Islam Sumenep, para Sultan, dan silsilahnya. Hingga kisah-kisah lisan yang barangkali masih berbentuk legenda atau cerita rakyat.

Namun, kesan Islam dengan Madura tidak bisa dipisahkan itu sangat kuat. Secara kultur, tradisi dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Madura memang tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Asumsi saya, karena memang Madura, khususnya Sumenep yang saya kunjungi, memiliki khazanah sejarah Islam yang kaya dan sangat panjang. Infonya, Islam sudah berkembang di Sumenep pada masa Maulana Malik Ibrahim.

Bahkan jika merujuk kisah rakyat Joko Tole, Islam sudah dipeluk sebagian masyarakat Madura sejak zaman Majapahit. Namun, dari penelusuran literature dari buku dan jurnal-jurnal saya belum mendapatkan paparan utuh bagaimana Islam di Madura pada zaman kerajaan Majapahit. Ada banyak informasi yang masih simpang-siur, karena mungkin informasinya masih bercampur dengan legenda dan kisah rakyat.

Islam sudah masuk ke Sumenep sejak Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319-1331 M. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang bergelar Panembahan Mandaraka yang juga disinyalir beragama Islam.

Bukti keislamannya adalah makamnya sudah berbentuk Islam yang terletak di desa Mandaraga,Keles, Ambunten.

Panembahan Mandaraka yang berkuasa sampai 1339 M mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari thn 1339-1348 M dan Pangeran Nataningrat yangmenggantikan kakaknya dengan karaton Baragung, Guluk-Guluk.

Madura memiliki tokoh kepahlawanan yang hebat, yaitu Trunajaya. Ia merupakan pemimpin pemberani. Melawan VOC Belanda dengan tentaranya yang terkenal tangguh dan sangat kuat.

Trunajaya kecewa ketika Amangkurat I bersahabat dengan VOC. Bagi sebagian masyarakat Madura yang pernah saya temui, mereka tidak setuju Trunajaya disebut pembelot/pemberontak kerajaan Mataram. Karena mangkirnya Trunajaya dari Mataram karena membela tanah air dan agama dari pengaruh VOC.
Bagi pihak Mataram, Trunajaya disebut pemberontak. Tapi tidak bagi Madura dan sebagian Jawa Timur. Ia pahlawan.

Ketika melawan VOC, Trunajaya dibantu Pangeran Giri, Pangeran Surabaya dan Pangeran Pasuruan. Ketiga pangerah ini masih keturunan Sunan Giri dan Sunan Ampel.

Hingga Indonesia Merdeka pun hubungan Madura dengan Gresik, Surabaya, Pasuruan sangat erat. Di wilayah itu plus tapal kuda, banyak dihuni orang Madura. Bahkan membentuk komunitas-komunitas. Hingga orang Jawa pun jika berbaur dengan orang Madura biasanya ter-Madurakan. Minimal dari segi bahasanya.

Tetapi, di mana pun masyarakat Madura tinggal, mereka tidak melepaskan kultur Islamnya. Setidaknya dari pakaian dan fanatik keagamaannya. Corak Islamnya pun tradisional. Sangat kuat. Hingga ada guyonan begini: “Madura itu 90% Islam, 10% Muhamadiyah”.

Madura bisa juga disebut pula pulau seribu pondok pesantren. Latar belakang pendidikan masyarakat Madura sangat identik dengan pondok pesantren.

Tokoh-tokoh besar Madura semua berasal dari pondok pesantren. Sebab itulah pondok pesantren di Madura memiliki tempat sendiri yang terhormat dalam strata sosial pergaulan masyarakat Madura. Persebaran pondok pesantren di Madura juga cukup merata dan banyak.

Satu lagi identitas keislaman warga Madura, banyak sekali rumah yang didepannya dibangun musholla/surau. Jika masuk satu kampung, maka jumlah musholla sangat banyak sekali.

Dalam keseharian, warga Madura biasa memakai sarung. Di jalan raya, toko, mall, pasar, petani, semuanya memakai sarung.

Kultur taat kepada kiai dan ulama juga sangat kuat sekali. Bahkan, penjahat pun taat pada kiai. Ada teman Madura yang pernah berkelakar: “Begal itu tidak takut polisi. Takutnya pada kiai”.

Institusi pondok pesantren menjadi benteng yang masih tangguh bagi tradisi Islam di Madura. Hingga sekarang.

Oleh sebab itu, proses Islamisasi Madura boleh dibilang suatu proyek dakwah yang menuai hasil yang luar biasa. Ada dua jalur Islamisasi yang faktor kuatanya Islam di Madura; jalur dai/muballigh dan jalur kerajaan. Kedua jalur ini rupanya berjalan saling melengkapi dan berjalan secara seimbang di pulau Madura. Dua pendekatan yang perlu kita ambil ibrah dan pelajarannya.

Bangil, 14 Juni 2022

Views: 83

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Linkdin
Share on Pinterest

Leave a comment