Prof. Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki (Prof. Sayid al-Maliki) adalah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jamaah dari Makkah yang dikenal sebagai ulama, cendekiawan dan pakar dalam berbagai disiplin ilmu Islam, terutama ilmu hadis dan tasawuf.
Beliau lahir pada tahun 1365 H (1946 M) di Makkah, dalam keluarga yang dikenal sebagai penjaga tradisi keilmuan dan dakwah Islam.
Ayahnya, Sayid Alwi bin Abbas al-Maliki, adalah seorang ulama besar di masjidil Haram. Prof. Sayid al-Maliki meneruskan jejak ayahnya dalam mengajar dan mendidik para ulama dari berbagai penjuru dunia di masjidil Haram. Beliau juga dikenal sebagai guru dari banyak ulama di Indonesia dan memiliki hubungan erat dengan pesantren-pesantren di Nusantara. Mayoritas murid beliau berasal dari Indonesia.
Beliau wafat pada 15 Ramadhan tahun 1425, bertepatan dengan 30 Oktober 2004. Hari ini adalah peringatan haul (wafatnya) yang ke-21. Seluruh murid-murid beliau di Indonesia mengadakan peringatan haul dengan membaca surat Yasin, tahlil dan doa untuk Prof. Sayid al-Maliki.
Prestasi keilmuan Prof. Sayid al-Maliki cukup bersinar. Gelar doktornya diperoleh di Universitas al-Azhar Kairo dalam bidang hadis di usia yang sangat muda, 25 tahun. Tidak sampai dua tahun setelah kelulusan doktoral, beliau dikukuhkan sebagai guru besar (Profesor) dalam bidang ilmu hadis dan ushuluddin di Universitas Ummul Qura Makkah. Beliau kemudian mengundurkan diri, dan berkonsentrasi mengajar di Masjidil Haram dan di rumah beliau, Rusaifah. Menurut catatan beliau menulis karya sebanyak 100 kitab dalam bidang; akidah, hadis, ulumul quran, sirah, fiqih dan ushul fiqih.
Selain mengajar di Masjidil Haram dan rumahnya, beliau mengisi forum-forum ilmiah dan dialog. Dalam beberapa kesempatan, Prof. Sayid al-Maliki menyampaikan problem keilmuan umat Islam dan problematika umat secara umum baik di jazirah Arab atau di negeri-negeri Islam lainnya di zaman modern. Dalam bidang hadis dan keilmuan Islam, beliau menulis kitab Al-Mustashriqun Bain al-Insaf wa al-‘Asabiyyah sebagai jawaban terhadap kesalahpahaman sarjana orientalis dalam menulis hadis dan sirah Nabi. Krisis internal umat Islam yang menyebabkan pertikaian dan perpecahan antar sesama Muslim ditulis dalam beberapa karya kitab. Khususnya dalam karya berjudul al-Ghuluw wa Atsaruhu fi Irhab wala ifsad fi al Mujtama’. Kondisi praktis dan real umat Islam zaman modern dalam berbagai bidang; pemikiran, ilmu, akidah dan sosial dijelaskan dalam kitab Al-Muslimun baina al-Waqi’ wa al-Tajribah.
Di zaman modern, Prof. Sayid al-Maliki menjelaskan bahwa umat Islam menderita berbagai krisis. Seperti kemunduran ilmu, kekalahan politik, kemunduran ekonomi, perselisihan sosial, kerusakan akhlak, penyimpangan pemikiran, akidah, dan lemahnya pendidikan (Prof. Sayid al-Maliki, Al-Muslimun baina al-Waqi’ wa al-Tajribah, 8).
Krisis-krisis tersebut, disamping diakibatkan dari kelemahan umat Islam sendiri, juga karena masuknya konsep-konsep asing yang menyesatkan (mafahim ajnabiyyah dhollah). Beliau menulis:
فلقد انتشرت في بلاد الإسلام دعوات إلحادية مزيفة وتفشت بين المسلمين مفاهيم أجنبية ضالة كلها لا تمت إلى الإسلام بصلة ولا ترتبط بشريعة القرآن بسبب بل هي حرب سافرة على دعوة الله
“Sungguh, telah menyebar di negeri-negeri Islam seruan-seruan penyimpangan yang menyesatkan, serta tersebar di tengah kaum Muslimin berbagai pemahaman asing yang menyesatkan, yang semuanya tidak memiliki hubungan dengan Islam dan tidak berkaitan dengan syariat Al-Qur’an sedikit pun. Bahkan, semua itu merupakan perang terang-terangan terhadap dakwah Allah.” (Prof. Sayid al-Maliki, Al-Muslimun baina al-Waqi’ wa al-Tajribah, 9).
Di antara pemahaman-pemahaman asing yang mempengaruhi pemikiran umat Islam zaman modern itu antara lain; metode ilmu dan pendidikan dari luar Islam yang mempengaruhi para pemudan dan cendekiawan, ideologi komunisme, sosialisme, kapitalisme yang mempengaruhi bidang politik dan ekonomi.
Prof. Sayid al-Maliki menjelaskan, dunia Arab dan Islam sebetulnya telah gagal dalam percobaan menerapkan ideologi komunisme, sosialisme dan kapitalisme. Sosialisme di dunia Arab menimbulkan fanatisme kebangsaan yang sempit sehingga menghancurkan persaudaraan Islam. Revolusi beberapa Arab yang mengusung komunisme dan sosialisme justru memecah belah Arab.
Dalam konteks pemikiran, sosialisme menurut Prof. Sayid al-Maliki melahirkan tafsiran-tafsiran sejarah yang keliru. Futuhat yang dilakukan oleh para khalifah dan kesultanan Islam misalnya ditafsirkan secara materialistis berdasarkan ideologi sosialisme. Para sarjana penganut sosialisme akhirnya menafsirkan para pahlawan Islam dalam futuhat itu menyamakan dengan kolonilisme yang dilakukan bangsa Barat. Padahal perbedaan futuhat dan kolonialisme itu cukup mendasar. Spirit kolonialisme adalah materi. Sedangkan semangat futuhat Islam adalah menyebarkan agama.
Adapun problem internal umat Islam zaman modern dalam bentuk kejumudan berfikir, fanatisme, dan matinya spirit dalam penelitian dan penalaran (Prof. Sayid al-Maliki, Al-Muslimun baina al-Waqi’ wa al-Tajribah, 13). Sikap-sikap tersebut bersumber dari cara beragama yang ghuluw (berlebihan). Tidak terbuka terhadap inovasi-inovasi ilmu yang tidak bertentangan dengan syariah. Justru inovasi sering distempel dengan predikat bid’ah. Akibatnya, semangat penelitian dan penalaran menjadi melemah. Menurut Prof. Sayid al-Maliki cara beragama yang ghuluw seperti itu sudah pernah diingatkan oleh al-Qur’an dalam kasus kaum Yahudi dan Nasrani.
Dari berbagai macam krisis tersebut, Prof. Sayid al-Maliki memandang dua masalah yang terbesar yaitu; krisis iman dan akhlak. Beliau menulis:
إن الناس يتحدثون اليوم عن الأزمات، وهذا العصر هو عصر الأزمات والمشكلات، ولكن هناك أزمة واحدة هي التي ينبغي الحديث عنها، والاجتهاد في حلها، هي: أزمة الإيمان وأزمة الأخلاق، وهي كارثة الكوارث ومصيبة المصائب وهي داء الأفراد والمجتمعات والحكومات
Sesungguhnya orang-orang membicarakan berbagai krisis hari ini. Memang, zaman ini adalah era krisis dan berbagai permasalahan. Namun, ada satu krisis utama yang seharusnya menjadi fokus pembicaraan dan diupayakan solusinya, yaitu krisis iman dan krisis akhlak. Inilah bencana dari segala bencana, musibah dari segala musibah, serta penyakit yang menimpa individu, masyarakat, dan pemerintahan (Prof. Sayid al-Maliki, Al-Muslimun baina al-Waqi’ wa al-Tajribah, 13).
Berkaitan dengan krisis akhlak, penjelasan Prof. Sayid al-Maliki cukup menarik. Menggambarkan kondisi akhlak umat Islam di era kontemporer ini. Akhlak dipisahkan dengan keimanan. Seakan-akan akhlak dan iman terpisah secara dikotomis.
Menurutnya, ada sebagian orang yang diberi predikat berakhlakul karimah. Memang secara sosial, ia berbuat baik dengan sesama, amanah, jujur dan patuh pada hukum. Namun, di saat yang sama orang tersebut tidak berhubungan baik dengan Allah Swt. Semua perbuatan dan tindakannya tidak berpijak pada Allah Swt, tidak beribadah dan berpaling dari-Nya (Prof. Sayid al-Maliki, Al-Muslimun baina al-Waqi’ wa al-Tajribah, 12). Sebaliknya, ada orang yang mengaku beriman dan berpegang teguh kepada Allah Swt. Namun perbuatannya tidak baik. Tidak mencerminkan akhlak mulia.
Hal tersebut menyebabkan kerusakan-kerusakan manusia dalam berbagai bidang. Iman dan akidah tidak dapat merasuk ke dalam kehidupan sehari-harinya.
Terhadap persoalan besar tersebut, Prof. Sayid al-Maliki menjelaskan jalan keluarnya adalah metode pendidikan dan metode ilmu. Metode pendidikan dan ilmu harus sesuai dengan tabiat Islam. Maka, secara khusus Prof. Sayid al-Maliki menulis kitab berjudul Usulu At-Tarbiyah an-Nabawiyyah. Beliau menjelaskan metode pendidikan Islam didasarkan pada prinsip-prinsip dan praktik-praktik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam mendidik para sahabatnya. Metode ini tidak hanya fokus pada pengembangan intelektual, tetapi juga spiritual, moral, dan sosial.
Dengan menekankan pentingnya karakter dan akhlak yang mulia.
Prof. Sayid al-Maliki menegaskan bahwa pendidikan Islam harus bertumpu pada tauhid, yaitu menanamkan keyakinan yang kokoh kepada Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ selalu memulai dakwah dan pendidikannya dengan mengajarkan tauhid sebelum aspek lainnya.
Beliau menekankan bahwa tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membentuk akhlak yang baik. metode pendidikan yang benar harus berfokus pada pembentukan akhlakul karimah. Salah satu metode paling efektif yang digunakan Rasulullah ﷺ dalam mendidik para sahabat adalah memberikan keteladanan. Guru atau pendidik harus menjadi contoh dalam akhlak, ibadah, dan sikap sosial, karena murid akan lebih mudah meniru daripada sekadar mendengar nasihat.
Butikran-butiran pemikiran Prof. Sayid al-Maliki tersebut relevan dengan keadaan umat Islam saat ini. Sehingga sangat penting diamalkan khususnya dalam lembaga pendidikan untuk melahirkan generasi yang berilmu, berakhlak, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Bangil, 14 Ramadhan 1446
Oleh Dr. Kholili Hasib,M.Ud., Dosen UII Dalwa
Views: 75