Metode Pembelajaran Bahasa Asing Angkatan Bersenjata Amerika Serikat  (Army Methode) (Sebuah Pendekatan Dalam Metode Pengajaran Bahasa Arab)

Oleh:

Moh. Tohiri Habib, M.Pd.

BAB I

PENDAHULUAN

 

Semula bahasa Arab adalah kalimat yang disampaikan oleh orang Arab untuk maksud-maksud tertentu.[1] Tetapi setelah berkembangnya agama Islam, Abdul ‘Alim Ibrahim mengatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasanya orang-orang Arab dan bahasa agama Islam,[2] karena sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits ditulis dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu, bagi siapa saja yang hendak menggali ajaran Islam (khususnya dari kedua sumber tersebut) haruslah mempelajari bahasa Arab (sebagai bahasa kedua). Sebagaimana dinyatakan oleh seorang profesor linguistik, Hilary Wise dari University of London mengungkapkan, “As the language of the Koran the holy book of Islam, it is taught as a second language in Muslim state throughout the world.”[3] Hal ini juga dipertegas dengan pernyataan Amir al-Mu’minin Umar bin al- Khatab r. a., “Hendaklah kamu sekalian tamak (keranjingan) mempelajari bahasa Arab karena bahasa Arab itu merupakan bahagian dari agamamu.”

 أَحْرِصُوْا عَلَى تَعْلِيْمِ اللُّغَةِ اْلعَرَبِيَّةِ فَإِنَّهَا جُزْءٌ مِنْ دَيْنِكُمْ[4]

Seiring dengan perkembangan zaman, selain motif agama, bahasa Arab juga dipelajari karena perannya yang makin meluas di bidang pendidikan hingga ekonomi. Hal ini didukung dengan dideklarasikannya bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dan sebagai bahasa nomor tiga di dunia oleh PBB pada tahun 1973 yang telah dituturkan oleh 200.000.000 umat manusia serta digunakan sebagai bahasa resmi oleh kurang lebih 20 negara di dunia. Bahkan sekarang ini bahasa Arab merupakan bahasa yang peminatnya cukup besar di Barat. Misalnya Amerika Serikat, hampir tidak ada satu perguruan tinggi yang tidak menjadikan bahasa Arab sebagai salah satu mata kuliah, termasuk perguruan tinggi Katholik atau Kristen seperti Harvard University, sebuah perguruan tinggi swasta paling terpandang di dunia.[5]

Dipelajarinya berbagai bahasa  asing di Amerika, terlebih bahasa Arab, tentunya tidak lepas dari misi agama dan ekspansi kekuasaan. Jika kita mengingat kembali sejarah yang terjadi di akhir abad ke- 17, dimana para missionaris kristen dan Amerika menyerbu negeri Arab bagian Utara (Syam). Ketika itu, mereka mula- mula menggunakan bahasa  Arab sebagai bahasa resmi penyebaran missinya. Selain itu, dengan didukung kemahiran Angkatan Bersenjata Amerika Serikat pula dalam berkomunikasi dengan bahasa asing, maka memperlancar ekspansi wilayah jajahan. Keberhasilan mereka dalam penguaaan bahasa, tentunya tidak lepas dari sebuah metode, karena metode dianggap lebih penting dibanding materi ajar itu sendiri (الطَّرِيْقَةُ أَهَمُّ مِنَ اْلمَادَّةِ). Bahkan menurut para pakar linguistik, bahwa metode yang mereka gunakan dianggap sebagai metode yang paling populer sepanjang sejarah pengajaran bahasa.[6]

Dengan dasar landasan tersebut, maka muncullah suatu ketertarikan di benak kita untuk mengetahui bagaimana sebenarnya motode yang dilaksanakan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat yang juga merupakan cikal bakal at-Thariqah as-Sam’iyah asy-Syafahiyah / The Audiolingual Method dalam pengajaran bahasa Arab.

BAB II

METODE PENGAJARAN BAHASA ASING

ANGKATAN BERSENJATA AMERIKA SERIKAT

( Sebuah  Pendekatan dalam Metode Pengajaran Bahasa Arab)

 

  1. Sejarah Perkembangan Motode Pengajaran Bahasa Asing

Sejarah pengajaran bahasa asing dimulai dengan model “private”, karena pada masa lalu hanya orang- orang terkemuka dan para bangsawan saja yang mampu belajar bahasa asing. Pada permulaan imperium Romawi, peradaban Yunani kuno masih sangat dominan. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk mempelajari bahasa Yunani. Metode yang digunakan adalah “ menghafal ungkapan- ungkapan dalam bahasa asing (Yunani) dan membandingkannya dengan bahasa ibu (Latin).

Pada abad 17 M, seorang pendidik dari Cheko, John Amos Comenius, mengungkapkan bahwa “ Menguasai kaidah- kaidah an- sich dan menghafalkan kosa kata lepas adalah  sia- sia, dan upaya menundukkakn kaidah bahasa kepada prinsip- prinsip logika adalah bertentangan dengan tabiat bahasa yang spontan. Oleh karena itu, ia menyarankan cara belajar bahasa melalui gerakan dan aktivitas yang langsung menyertai ungkapan bahasa atau melalui gambar- gambar konkrit, tanpa terlalu dibebani dengan penguasaan kaidah- kaidah.  Alasan ini diperkuat oleh Francois Gouin dari Prancis  yang menekankan penggunaan bahasa secara fungsional dan mengesampingkan hafalan kaidah gramitakal, yang dikenalkan  dengan “metode langsung”. Namun metode ini terkendala dengan keterbatasan tenaga pengajar yang mampu melaksanakan metode ini dengan baik. Pada abad 19 M, lahirlah “ metode gramatika- terjemah” yang dipelopori oleh Karl ploetz, seorang pendidik dari Jerman yang munguatkan kembali akan pentingnya penguasaan kaidah- kaidah dalam pengajaran bahasa.[7] Hal ini senada dengan apa yang direkomendasikan oleh Tim Committee of Twelve yang bergabung dalam Modern Language Association of America kepada National Education Association di Amerika tentang konsep bahasa, bahwa “… kemampuan bercakap- cakap saja tidak boleh dianggap sebagai suatu yang sangat penting tetapi sebagai alat bantu untuk mencapai kemahiran bahasa dan sastra- budaya yang lebih tinggi”.[8] Namun metode ini menemui kendala karena tidak hanya menuntut guru memiliki kemahiran berbahasa asing dengan sempurna tetapi juga tenaga dan pikiran serta imajinasinya, sehingga dirasakan sangat berat bagi murid. Selain itu, meningkatnya permintaan dan minat masyarakat terhadap bahasa lisan yang lebih komonikatif.

 

Dalam upaya penemuan metode   yang efektif dan efisien dalam pengajaran bahasa asing, maka antara tahun 1920 – 1935, para ahli bahasa Amerika melakukan kegiatan eksperimen  yang dinamakan Studi tentang Bahasa Asing Modern, dengan kesimpulan “ … karena kebanyakan murid membuang- buang waktu untuk mencoba mencapai sesuatu yang tidak mungkin, terutama dalam pembelajaran yang hanya dua tahun lamanya, lebih baik mencoba sesuatu yang dicapai, yaitu pengetahuan dalam membaca bahasa asing yang terbatas. Dianjurkan pula penggunaan word- counts, daftar ungkapan dan sintaksis, metode yang lebih baik, dan standar of achievement yang pasti.[9]

Demikianlah sejarah singkat perkembangan metode pengajaran bahasa asing yang juga terjadi di Amerika setelah perang dunia I. Kemudian, pada saat Perang Dunia II, Amerika Serikat memerlukan personalia yang lancar berbahasa asing untuk di tempatkan di beberapa negara, baik sebagai penerjemah dokumen- dokumen maupun pekerjaan lain yang memerlukan komonikasi langsung dengan penduduk setempat.[10]  Dan setelah berakhirnya Perang dunia II, mulai berkembang dan membaiknya hubungan antar negara, sehingga muncul kebutuhan untuk berkomunikasi secara lisan di antara kedua negara, baik di kalangan pemerintahan maupun perorangan, selain adanya kebutuhan untuk mempelajari dan menterjemahkan buku- buku dalam bidang keilmuan ataupun kebudayaan negara lain. [11] Di samping itu, berkembangnya ilmu Antropologi dan munculnya keinginan para pakar bahasa dan ilmu jiwa untuk mempelajari bahasa – bahasa asli Amerika yang tidak tertulis.[12] Kiranya, tiga landasan utama inilah yang menjadi pemicu para ahli bahasa di Amerika untuk menemukan suatu metode agar suatu bahasa asing dapat dikuasai dengan sebaik mungkin. Karena menurut mereka metode yang telah ada, seperti metode qawaid, tarjamah, dan membaca, tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang pada saat itu.

Perkembangan teknologi pembelajaran, khususnya laboratorium-laboratorium bahasa dan berbagai peralatan audio elektro, juga mengambil pengaruh besar  sehingga terciptanya metode pengajaran yang efektif  dan fokus dalam segi audiolingual, sangat berperan penting. [13] Dari semua latar belakang ini, tentunya membutuhkan pada metode pengajaran yang memperhatikan segi audiolingual, sehingga muncul pendekatan  the Aural- oral dalam pengajaran bahasa, dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya metode Sam’iyyah  Syafawiyah.

 

  1. Metode Pengajaran Bahasa Asing Angkatan Bersenjata Amerika Serikat.

1 . Gambaran Umum

Permasalahan yang menimpa tentara Amerika pada peristiwa Perang Dunia II adalah kekurangmampuan mereka berkomonikasi bahasa Asing, sehingga mereka merasasakan kebutuhan akan penguasaan bahasa tersebut. Sehingga memunculkan motivasi mereka untuk melangsungkan pengajaran bahasa dalam upaya penguasaan bahasa asing dalam kurun waktu yang singkat. Untuk itu, Departemen Pertahanan Negara Amerika Serikat mendirikan sebuah Lembaga Pertahanan Bahasa (The Defense Language Institute), yang di dalamnya diterapkan program yang dinamakan Army Specialized Training Program, dengan melibatkan 55 Universitas di Amerika Serikat. Program yang dimulai pada tahun 1943 ini bertujuan agar peserta program dapat mencapai keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing, yakni negara yang mereka perangi dan memerangi mereka, dengan metode yang cepat dan efisien. Fries Charles dan Robert Lado- lah yang mempelopori berdirinya lembaga bahasa ini.[14]

Dalam sejarah pengajaran bahasa, percobaan penerapan metode ini adalah yang terbesar dalam upaya mencapai bahasa karena jumlah peserta didik mencapai 15.000 dan mempelajari 17 bahasa dengan 27 lokal yang tersedia. pengajaran ini pertama kali terealisasi pada bulan april 1943 M. Namun pada tahap ini masih menumakan berbagai kendala, yaitu jumlah siswa yang berbeda dalam setiap jenjang yang sama dan sifat ketentaraan masih lebih dominan, sehingga bahan ajar baru berkisar apa yang mereka temukan di lapangan. Namun hal ini dapat diantisipasi dengan dibentuknya panitia khusus menangani permasalahan tersebut. Dan pada bulan februari 1944, diaplikasikannya pembelajran secara umum yang melakukan kunjungan selama 6 minggu ke beberapa tempat dan daerah dengan 44 pusat dari 53 pusat pembelajaran yang ada dengan komonikasi langsung dengan siswa. Dan pada akhir Maret di tahun yang sama, panitia membuat suatu keputusan dan dua bulan kemudian diserahkan kepada Lembaga Bahasa Amerika Serikat, dengan ketentuan:

  1. Membagi mereka kepada beberapa kelompok yang terdiri dari 10 orang dengan mewajibkan apa yang mesti dikerjakan dan yang tak perlu.
  2. Lama pembelajaran 15 jam per minggu dengan konsekuensi 3 jam untuk teori dan 12 jam untuk aplikasi.
  3. Membiasakan mereka untuk mengaplikasikan setiap materi yang telah dipelajari.
  4. Selain diskusi, juga diterapkannya latihan kebahasan lain. [15]

Dalam pengajarannya, mereka mempelajari bahasa asing dengan segala sifat dan bentuknya berdasarkan pemakaian masing – masing pengguna bahasa, dan menghadirkan penutur bahasa asli (native speaker) yang berfungsi sebagai (informant), yang kemudian mereka ajarkan dengan metode mereka sendiri.[16]

 

  1. Model Satuan Pembelajaran

 

  1. Tujuan Pembelajaran

1).TPU ( tujuan pembelajaran umum) yaitu agar peserta pelatihan dapat menguasai beberapa bahasa yang dipakai oleh bangsa lain sehingga mereka mampu  berkomonikasi dengan bahasa setempat.

2).TPK (tujuan pembelajaran khusus) yaitu agar peserta didik dapat menggunakan dengan lancar bahasa pasaran yang digunakan oleh warga setempat. Sehingga pembelajarn ini lebih menitikberatkan pada kemampuan mendengar dan berbicara tanpa meninggalkan keterampilan berbahsa yang lain. dimaksudkan untuk melatih mereka agar terbiasa dan menimbulakan kehati- hatian.

 

  1. Penerapan Metode ASTP dalam Pengajaran Bahasa Arab

Dengan keberhasilan pengajaran bahasa asing model ASTP (Army Specialized Training Program) yang bersifat intensif dan berbasis penyajian lisan, maka memunculkan respon positif para ahli linguistik terkemuka bahwa model ASTP ini layak diterapkan secara umum di luar program ketentaraan,[17] bagi seluruh akademi di Amerika, Eropa, daerah Timur dan Tengah. Hingga akhirnya, Departemen Pendidikan dan Pengajaran di wilayah Arab, mencanangkan program yang sama, khususnya dalam pengajaran bahasa Inggris dan bahasa Arab bagi penutur non Arab. [18]

Model ASTP inilah yang menjadi cikal bakal dari Metode Audiolingual, setelah dikembangkan dan diberi landasan metodologis oleh berbagai universitas di Amerika, terutama oleh Universitas Michigan. Sebelum metode ini berkembang dalam pengajaran bahasa asing di Amerika, sebenarnya metode yang sama telah diterapkan di Birthaniah sekitar seperempat  pertama abad ke-20, yang dipelopori oleh ilmuan Inggris, Harold Palmer dalam bukunya The Oral Method in Language Teaching yang cetakan pertamanya pada tahun 1921. Dengan demikian, Eropalah sebagai pencetus pertama metode ini, namun Amerika sebagai pengguna dan pengembangnya.[19]

  1. Asumsi Dasar

Metode Audiolingual didasarkan atas beberapa asumsi, antara lain bahwa bahasa itu pertama- tama adalah ujaran yang merupakan sekumpulan simbol- simbol bunyi yang diketahui makna dan fungsinya oleh masyarakat sebagai alat berkomonikasi di antara mereka. Oleh karena itu, pengajaran bahasa harus dimulai dengan memperdengarkan bunyi- bunyi bahasa dalam bentuk kata atau kalimat kemudian mengucapkannya, sebelum pelajar membaca dan menulis.[20]

Para pencetus metode ini beranggapan bahwa bahasa adalah apa yang diucapkan.[21]  Maka seyognyalah kita, pemgajar dan pebelajar, mempelajari bahasa bukan mempelajari tentang bahasa ( Teach the language, not about the language). Bahasa adalah suatu yang menjadi kebiasaan penuturnya, bukannya angan- angan ataupun  harapan bagi penuturnya bahwa ia akan bisa membiasakan berbahasa.[22] Suatu prilaku akan menjadi kebiasaan apabila diulang berkali- kali, sebagaimana eksperimen S-R (stimulus respons) yang dilakukan psikolog kenamaan, B.F.Skinner (1904- 1992).[23] Oleh karena itu, pengajaran bahasa harus dilakukan dengan teknik pengulangan atau repetisi.[24]

Metode ini juga didasarkan atas asumsi bahwa bahasa- bahasa di dunia ini berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, pemilihan bahan ajar harus berbasiskan hasil analisis kontrastif, antara bahasa ibu pebelajar dan bahasa target yang sedang dipelajarinya.[25] Dan menyadari bahwa setiap bahasa mempunyai aturan dan sumber yang berbeda- beda, maka hendaknyalah menganalisa, mempelajari dan mengajarkan bahasa tersebut sesuai dengan aturan bahasa target, dan jauh dari gambaran lama bahasa lainnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh Leonardo Bloomfield, seorang ahli  bahasa di Amerika, “ The student of an enterely new language will have to throw off all his prepossessions about language and start with a clean state.[26] Ungkapan ini menjelaskan bahwa seorang pebelajar bahasa asing, hendaklah mengabaikan segala pengalaman lamanya tentang bahasa ibu dan memulai mempelajari bahasa yang baru dengan gambaran dan pengalaman yang baru pula.

Metode ini juga didasarkan atas Teori Tata Bahasa Struktural (TBS). Dalam teori ini, struktur bahasa dianggap sama dengan pola- pola kalimat. TBS berlawanan dengan Teori Bahasa Tradisional (TBT) dalam hal- hal berikut: (1) TBT menekankan kesemestaan bahasa sedangkan TBS menekankan fakta bahwa semua bahasa di dunia ini tidak sama strukturnya. (2) TBT bersifat preskriptif yang berpandangan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang dikatakan baik dan benar oleh para ahli tata bahasa. Sedangkan TBS bersifat deskriptif yang berpandangan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang digunakan oleh penutur asli dan bukan apa yang dikatakan para ahli bahasa. (3) TBT mengkaji bahasa dari ragam bahasa dari ragam formal (ragam sastra dan sejenisnya), sedangkan TBS mengkaji bahasa dari ragam informal yang digunakan oleh penutur asli dalam interaksi sehari- hari.[27]

  1. Karekteristik
  2. Metode Audiolingual (as-Sam’iyyah asy-Syafawiyyah) menggunakan pendekatan The Aural- Oral ( as-Sam’i asy-Syafahi).[28]
  3. Tujuan pengajarannya adalah penguasaan empat keterampilan berbahasa secara seimbang.
  4. Urutan penyajiannya adalah menyimak dan berbicara baru kemudian membaca dan menulis.
  5. Model kalimat bahasa asing diberikan dalam bentuk percakapan untuk dilafalkan.
  6. Pengaturan pola kalimat dilakukan dengan latihan pola- pola (pattern – practice). Latihan atau drill mengikuti urutan:

Stimulus                            respons                        reinforcement

  1. Kosa kata dibatasi secara ketat dan selalu dihubungkan dengan konteks kalimat atau ungkapan, bukan sebagai kata- kata lepas yang berdiri sendiri.
  2. Pengajaran sistem bunyi secara sistematis ( berstruktur) agar dapat digunakan atau dipraktekkan oleh pelajar, dengan teknik demonstrasi, peniruan, komparasi, kontras, dan lain- lain.
  3. Pelajaran menulis merupakan representasi dari pelajaran berbicara, dalam arti pelajaran menulis terdiri dari pola kalimat dan kosa kata yang sudah dipelajaru secara lisan.
  4. Penerjemahan dihindari. Pemakaian bahasa ibu apabila sangat diperlukan untuk penjelasan, diperbolehkan secara terbatas.
  5. Gramatika (dalam arti ilmu) tidak diajarkan pada tahap permulaan. Apabila diperlukan pengajaran gramatika pada tahap tertentu hendaknya diajarkan secara induktif, dan secara bertahap dari yang mudah ke yang sukar.
  6. Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang menunjukkan adanya perbedaan struktural antara bahasa asing yang diajarkan dan bahasa ibu pelajar. Demikian juga bentuk- bentuk kesalahan siswa yang sifatnya umum dan frekuensinya tinggi. Untuk itu diperlukan analisis kontrastif dan analisis kesalahan.
  7. Kemungkinan- kemungkinan terjadianya kesalahan siswa dalam memberikan respons harus sungguh- sungguh dihindarkan.
  8. Guru menjadi pusat dalam kegiatan kelas.
  9. Penggunaan bahan rekaman, laboratorium bahasa, dan visual aids sangat diperlukan.[29]

 

  1. Langkah- langkah Penyajian
  2. Penyajian dialog atau bacaan pendek, dengan cara guru membacanya berulang kali, dan pelajar menyimak tanpa melihat teks.
  3. Peniruan dan penghafalan dialog atau bacaan pendek, dengan teknik menirukan bacaan guru kalimat per kalimat secara klasikal, sambil menghafalkan kalimat- kalimat tersebut. Teknik ini disebut mimicry- memorization ( mim- mem) technique.
  4. Penyajian pola- pola kalimat yang terdapat dalam dialog atau bacaan pendek, terutama yang dianggap sukar, karena terdapat struktur atau ungkapan yang berbeda dengan struktur dalam bahasa ibu pelajar. Ini dilakukan dengan teknik drill.
  5. Dramatisasi dialog atau bacaan pendek yang sudah dilatih. Para pelajar mendemonstrasikan dialog yang sudah dilafalkan di depan kelas secara bergantian.
  6. Pembentukan kalimat- kalimat lain yang sesuai dengan pola- pola kalimat yang sudah dipelajari.[30]
  7. Kelebihan dan Kekurangan

            Kelebihan

  1. Para pelajar memiliki keterampilan pelafalan yang bagus.
  2. Para pelajar terampil membuat pola- pola kalimat baku yang sudah dilatih.
  3. Pelajar dapat melakukan komonikasi lisan dengan baik karena latihan menyimak dan berbicara yang intensif.
  4. Suasana kelas hidup karena para pelajar tidak tinggal diam, harus terus menerus merespon stimulus guru.[31]

            Kekurangan

  1. Respon pelajar cenderung mekanistik, sering tidak mengetahui atau tidak memikirkan makna ujaran yang diucapkan. Kondisi seperti ini bisa berjalan selama beberapa bulan, sehingga para pelajar yang sudah dewasa banyak mengalami kebosanan.
  2. Pelajar bisa berkomonikasi dengan lancar hanya apabila kalimat yang digunakan telah dilatihkan sebelumnya dalam kelas.
  3. Makana kalimat yang diajarkan biasanya terlepas dari konteks, sehingga pelajar hanya memahami satu makna, padahal suatu kalimat atau ungkapan bisa mempunyai beberapa makna tergantung konteksnya.
  4. Keaktifan siswa di dalam kelas adalah keaktifan yang semu, karena mereka hanya merespon rangsangan guru. Semua bentuk latihan, materi pelajaran, sampai model pertanyaan dan jawaban, ditentukan oleh guru. Tidak ada inisiatif dan kretivitas siswa.
  5. Karena kesalahan dianggap sebagai “dosa”, maka pelajar tidak dianjurkan berinteraksi secara lisan atau tulis sebelum menguasai benar pola- pola kalimat yang cukup banyak. Akibatnya, pelajar takut menggunakan bahasa.[32]

 

Dengan demikian metode Angkatan Bersenjata Amerika Serikat ini merupakan metode dengan pendekatan komonikatif dan oral-lingual, dan memungkinkan penerapannya dalam pengajaran bahasa Arab dengan tetap melakukan perbaikan yang bersifat kondisional.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arsyad, Azhar. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Fuad Efendi, Ahmad, Metodologi Pengajaran Bahasa arab, Cet. ke-3,  Malang: Misykat, 2005

Ibrahim, Abdul al-‘Alim.Al-Muwajjah al-Fanni. al-Qahirah: Dar al- Ma’rifat.

Lado. Teaching English Accros Cultures. New York: McGrawhill, 1998.

Mustafa al- Gulayain, Jami’  ad- Durus  al- Arabiyah. Beirut: al- Maktab  al- Asriyah, Saida, 1989.

Skinner, Verbal Behavior. New York: Appleton, 1987

Sumardi, Muljanto.  Pengajaran Bahasa Asing Sebuah Tinjauan dari segi Metodologi, Jakarta, Bulan Bintang, 1875.

عبد العزيز، طرائق تدريس اللغة العربية للناطقين بلغات أخرى، ( الرياض: جامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية , 2002 م

 

حماد إبراهيم، الإتجاهات المعاصرة في تدريس اللغة العربية و اللغة الحية الأخرى, ( القاهرة : دارالفكر العربي, 1987م

 

 

                [1]Mustafa al- Gulayain, Jami’  ad- Durus  al- Arabiyah,  (Beirut: al- Maktab  al- Asriyah, Saida, 1989), hal. 7.

[2]Abdul al-‘Alim Ibrahim, Al-Muwajjah al-Fanni, (al-Qahirah: Dar al- Ma’rifat, t. t), hal. 48.

[3]Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2004), h. 1.

[4]Ibid., h. 7.

[5] Ibid, h. 1.

[6] حماد إبراهيم، الإتجاهات المعاصرة في تدريس اللغة العربية و اللغة الحية الأخرى, ( القاهرة : دارالفكر العربي, 1987: ص 61.

[7] Ahmad  Fuad Efendi, Metodologi Pengajaran Bahasa arab, Cet. ke-3, ( Malang: Misykat, 2005), h. 17- 19.

[7]  حماد إبراهيم، الإتجاهات المعاصرة في تدريس اللغة العربية و اللغة الحية الأخرى, ( القاهرة : دارالفكر العربي, 1987 h 61.

[8] Muljanto Sumardi, Pengajaran Bahasa Asing Sebuah Tinjauan dari segi Metodologi, (jakarta, Bulan Bintang, 1875), h. 26.

[9] Muljanto Sumardi, Op cit., h.27- 28.

[10]Ahmad  Fuad Efendi,  Op cit.,  h.46.

الإسلامية، 2002)، ص.90  عبد العزيز، طرائق تدريس اللغة العربية للناطقين بلغات أخرى، ( الرياض: جامعة الإمام محمد بن سعود [11]

 رشد أحمد طعيمة و آخرون، تعليم العربية لغير الناطقين بها, ( مصر: جامعة المنصورة، 1989)، ص. 133.[12]

 عيد العزيز، مرجع السابق، ص. 92.[13]

 المرجع الآخر، ص. 93.[14]

 ، ، مرجع السابق، ص .61- 65.   حماد إبراهيم [15]

 عيد العزيز، مرجع السابق، ص. 94. [16]

[17] Ahmad  Fuad Efendi, Loc cit.

عيد العزيز، مرجع السابق.[18]

المرجع الآخر [19]

[20] Lado, Teaching English Accros Cultures, ( New York: McGrawhill, 1998), h.17.

[21] Ibid.

 رشد أحمد طعيمة و آخرون، المرجع السابق. [22]

[23] Skinner, Verbal Behavior, ( New York: Appleton, 1987).

[24] Ahmad  Fuad Efendi, Op cit., h.47.

[25] Loc cit.

 عيد العزيز، مرجع السابق، ص .96 – 97.[26]

[27] Ahmad  Fuad Efendi,  Loc cit.

عيد العزيز، مرجع السابق، ص. 101. [28]

[29] Ibid., h. 48.

[30] Ibid., h. 48- 49.

[31] Ibid., h. 49.

[32] Ibid., h. 49- 50.

Views: 1

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Linkdin
Share on Pinterest

Leave a comment