“Saya tidak akan menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang kita rampas kemerdekaannya.”
– Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), 1913
Pernyataan ikonik Ki Hajar Dewantara dalam artikel Als ik een Nederlander was (1913) bukan hanya kritik tajam terhadap kolonialisme Belanda, tetapi juga penanda awal dari keberanian moral seorang intelektual yang berpihak pada rakyat. Tulisan tersebut lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap perayaan kemerdekaan Belanda yang ironisnya direncanakan di tanah jajahan, bahkan dengan meminta kontribusi dari masyarakat yang ditindas.
Lebih dari sekadar retorika perlawanan, sikap Ki Hajar menunjukkan fondasi filosofis pendidikan nasional: pendidikan sebagai proses kebudayaan dan pembebasan. Ia meyakini bahwa pendidikan bukanlah industri administrasi, melainkan jalan membentuk manusia merdeka—secara pikiran, perasaan, dan tindakan. Maka ketika negara hari ini kembali menggulirkan program bernama “Sekolah Rakyat”, penting untuk mengajukan pertanyaan mendasar: apakah semangatnya masih selaras dengan cita-cita Ki Hajar, atau justru menjauh darinya?
Modernisasi Pendidikan: Antara Kemajuan dan Ketimpangan
Pemerintah saat ini mengusung berbagai program modernisasi pendidikan: dari pembelajaran mendalam (deep learning), penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA), hingga pengenalan kecerdasan buatan dan pemrograman. Di sisi lain, pendidikan karakter juga diperkuat melalui program “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” dan “Pagi Ceria”.
Namun demikian, kebijakan-kebijakan ini perlu dikaji dari perspektif keadilan spasial dan sosial. Modernisasi tanpa distribusi infrastruktur yang merata hanya akan memperdalam jurang ketimpangan antara pusat dan pinggiran. Banyak sekolah di daerah tertinggal masih kekurangan guru tetap, ruang kelas, listrik, bahkan akses internet. Dalam kondisi demikian, penerapan teknologi canggih berisiko menjadi simbolisme semata—lebih tampil dalam konferensi pers dan baliho ketimbang dalam transformasi nyata.
Sentralisasi Kebijakan dan Hilangnya Otonomi Pendidikan Lokal
Kecenderungan kebijakan nasional yang seragam mengabaikan kompleksitas kultural dan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keberagaman sosial yang tinggi. Sekolah-sekolah di pesisir, pegunungan, atau komunitas adat memiliki kebutuhan dan nilai-nilai sendiri yang tak bisa dipaksakan dari pusat. Dalam konteks inilah, kritik Bung Hatta dan Sutan Sjahrir tetap relevan: pembangunan (termasuk pendidikan) harus berpijak pada kesadaran lokal dan mengakui keberagaman sebagai dasar demokrasi.
Alih-alih memperkuat otonomi lokal, program seperti “Sekolah Rakyat” justru berisiko menyeragamkan realitas sosial ke dalam formula teknokratis: seleksi berbasis kemiskinan, penyederhanaan kompleksitas menjadi angka statistik, dan pendidikan berbasis asrama yang memutus keterkaitan anak dengan habitat sosial-budayanya.
Pendidikan: Antara Hak dan Harapan
Di banyak wilayah Indonesia, pendidikan belum menjadi hak yang dijamin negara secara penuh, melainkan harapan yang rapuh. Anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam, menyeberangi sungai, atau bahkan meninggalkan kampung demi bisa mengakses sekolah. Dalam konteks ini, program-program nasional seperti “Sekolah Rakyat” akan kehilangan relevansi jika tak diawali dengan mendengar suara dari bawah: dari guru honorer di desa terpencil, orang tua yang menemani anaknya belajar dalam keterbatasan, hingga pemuda desa yang terpaksa merantau karena absennya SMA di wilayahnya.
Menghidupkan Kembali Jiwa Pendidikan
Ki Hajar Dewantara meletakkan pendidikan sebagai proses kebudayaan, bukan proyek karitatif. Pendidikan bukan sekadar sarana “pengentasan kemiskinan” atau pemenuhan target SDGs, melainkan ruang pembentukan manusia yang ngerti, ngrasa, lan ngelakoni—memahami realitas, merasakan penderitaan sesama, dan bertindak dengan kesadaran.
Jika pendidikan hanya dipandang sebagai alat birokrasi, maka yang lahir adalah sekolah-sekolah yang kehilangan jiwa: bangunan yang megah tapi jauh dari budaya lokal, kurikulum canggih tapi tak relevan, dan data statistik yang gemilang namun menutup ketimpangan struktural.
Penutup: Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang hadir dari bawah, yang menghormati bahasa ibu, mengenali laut bagi anak pesisir, dan memahami hutan sebagai ruang belajar bagi anak adat. Kita membutuhkan keberanian untuk melakukan desentralisasi sejati, bukan sekadar dalam hal anggaran, tetapi dalam paradigma.
Program “Sekolah Rakyat” hanya akan relevan jika didesain bukan untuk menunjukkan kepedulian negara, melainkan sebagai hasil dari partisipasi dan dialog dengan rakyat. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang sejarah: membangun sekolah-sekolah yang tak mampu membentuk manusia merdeka.
Oleh: Muhammad Farid
Dosen Sosiologi Pendidikan di Program Doktoral UII Dalwa dan Sejarah di Universitas Banda Neira Maluku Tengah
Views: 43